TUJUH BELAS Part #1


 

Entah harus memulai cerita dari bagian mana, rasanya seluruh keping hati tak sanggup untuk melengkapi satu sama lain, entah mengapa rasa pedih dan kebingungan melanda di tengah cinta yang tak mungkin untuk luluh dan berhenti mencinta, kepada mereka yang menjadi jiwa dan penopang hidup sampai hembusan napas terakhirku.

Bingungkah kalian tentang apa yang sebenarnya ingin aku ceritakan? Tapi kebingungan kalian tak akan menandingi kebingungan dan kebimbangan hati dan pikiranku saat aku menghadapi hal ini.

Baiklah, hidup adalah teka-teki yang memiliki pola terumit yang pernah aku jumpai dan seringkali sulit untuk aku selesaikan. Maka dengan berbagai cara aku selalu mencoba menemukan pola permasalahan dan barulah dapat terbaca bagaimana penyelesaiannya. Namun tetap saja menyelesaikan persoalan hidup tak lebih mudah dibandingkan menyelesaikan soal ulangan matematika, kimia ataupun fisika, kebimbangan dan kebingungannya akan lebih menghantui dibanding harus menimbang betul +4 dan salah -1 atau jika tidak ditemukan penyelesaiannya tidak memiliki harga atau 0, tapi adakah harga setelah menyelesaikan persoalan hidup? Jika jalan yang ditempuh benar, maka nilainya mungkin tak akan ternilai dengan kebahagiaan itu sendiri. Tapi pernahkah terpikir, bagaimana jika jalan yang kita tempuh itu salah? Maka persoalan akan semakin memburuk dan membawa kita pada satu titik dimana kepedihan itu benar-benar ada pada puncaknya. Namun, bagaimana jika kita tak bisa memilih jalan untuk kita tempuh dalam menyelesaikan persoalan? Itu sama saja kita membiarkan permasalahan mengakar dan beranak pinak sampai pada akhirnya melahirkan persoalan baru.

Pernah setujukah kalian dengan kalimat “Hidup itu bagai air mengalir” atau “Biar waktu yang menjawab”? dan tahukah kalian, aku pernah menjadi orang yang sangat bodoh saat aku mempercayai kedua kalimat yang bermakna “Pasrah” itu. Mengapa aku katakan sangat bodoh? Karena pada saat aku memiliki persoalan dan mempercayai persoalan untuk diselesaikan kepada kedua kalimat itu, apa yang akan terjadi? Kedua kalimat itu hanya akan berujung dengan jawaban “Takdir”. Tapi apakah Tuhan selalu bahagia jika dapat menentukan nasib manusia dengan kehendaknya sendiri saja? Tidak! Justru yang maha kuasa kecewa saat segala anugerah yang Dia berikan tak dapat digunakan untuk berusaha menjalani hidup yang jalannya telah Tuhan tentukan.

Kebodohan itu tidak melekat di diriku hanya untuk 1 atau 2 hari saja, bahkan untuk waktu yang sangat lama, sampai saatnya aku menemukan satu celah bercahaya yang membawaku ke jalan untuk mendapat kecerdasan hidup, tapi itu pun bukan berarti kini aku cerdas untuk menyelesaikan segala persoalan hidup, sama saja sampai saat ini pun aku bodoh, hanya saja setidaknya aku sadar akan keharusan berjuang dan tidak mengenal pasrah dalam mencari penyelesaian persoalan hidup.

Entah mengapa aku menganggap ini hal normal yang terjadi pada remaja yang beranjak dewasa dengan umur 17 tahun. Kecengengannya dan sensitifitasnya melebihi balita, mengapa? Bukan karena mereka, termasuk aku, kelaparan ataupun ngompol sehingga tangisan dan teriakan manja harus tercipta untuk memanggil orang tua untuk memberi makan atau setidaknya mengganti popok.

Mengapa harus ada istilah “Sweet Seventeen”? karena setelah aku pikir kembali, 17 tahun itu tak sedikitpun ada hal manis, justru ini adalah pintu dimana kehidupan benar-benar dijalani. Mengapa baru benar-benar dijalani? Sesuai dengan aturan kewarganegaraan Indonesia saja yang menghendaki umur 17 baru dapat memiliki KTP (Kartu Tanda Penduduk), SIM (Surat Izin Mengemudi) dan keterangan resmi lainnya, bukankah ini berarti dengan umur 17 tahun menambah kewajiban yang harus dijalani? Dan aku pikir di umur 17 ini menambah persoalan hidup dengan level lebih tinggi dibanding saat berumur sebelumnya.
Aku katakan bahwa diumur 17 tahun, persoalan hidup berada pada level lebih tinggi. Ya mungkin pada sebagian besar remaja di umur ini, menganggap hal persoalan cinta pada lawan jenis merupakan persoalan terburuk dengan segala jenis jalan cerita dan akhir pada ceritanya, entah itu akan berujung happy ending, sad ending atau bisa jadi tanpa ending (gantung).

Tapi yang ingin aku ceritakan sebenarnya bukan tentang percintaan biasa seperti itu, tapi tentang cinta yang lebih luar biasa. Well, open our mind untuk persoalan hidup yang sebenarnya, hidup tak selalu bahagia tapi juga tak akan terus merana.

2 comments

  1. Dek,

    Sejatinya takdir itu baru akan jadi “takdir” ketika sudah dijalani, sebelum itu ia hanya bentuk transformasi dari semesta bernama USAHA dan DOA. Tak lebih dari itu.

    Kamu pernah liat film atau cerita dengan alur plot twist?

    Kalo belom.

    Coba nntn film comic 8

    Atau Shutter Island.

    Kalo udah, atau punya referensi film lainnya. Kamu akan sadar, hidup kita juga banyak sekali plot twistnya.

    Pengen A dapet Z lalu ternyata dari si Z Kita malah Dapet A walau jalan harus ke F—W—-baru ke A.

    “biar waktu yg menjawab”

    Itu memang sebuah kata yg punya drajat.

    Drajat tawakal, 1 tingkat di atas takdir, 2 tingkat dibawah ikhtiar.

    Like

Leave a comment